Hukum Perjanjian internasional : proses terjadinya perjanjian

August 3, 2010

Dalam UU no 24 tahun 2004 tentang perjanjian Internasional ada 2 cara untuk memasukkan dalam peraturan di Indonesia melalui

  1. UU
  2. Kepres (tapi masalah nya kepres tidak masuk dalam hirarki peraturan UU )

    Tergantung materi muatannya

Tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional

  1. Accrediting (penunjukan)
  • Satu orang/ beberapa orang yang akan mewakili Negara pihak dalam suatu konvensi internasional

    Dlaam penunjukan ini ada dokumen 2 yang harus diurus

    • Full power
    • Credential

Yang tidak perlu full power

  • Kepala negara
  • Kepala pemerintahan
  • Menteri luar negri
  • Duta besar (terbatas di tempat dia ditempatkan)

     

  1. Perundingan
  • Ada proses penerimaan naskah (adoption of the text), lalu masuk pada pengesahan naskah, perbedaan nya adoption of the text naskahnya belum final masih bisa diubah-ubah

     

  1. ratifikasi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

    


Hukum perjanjian internasioanal : tidak sahnya perjanjian

August 3, 2010

Pasal 46

Ketentuan-ketentuan dalam hukum nasional mengenai wewenang untuk membuat perjanjian

  1. Suatu Negara tidak dapat mengemukakan bahwa kesepakatannya untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional itu ternyata melanggar suatu ketentuan dari hukum nasionalnya, mengenai wewenang untuk membuat perjanjian, kecuali jika pelanggaran itu terjadi secara terang-terangan dan menyangkut suatu aturan dari hukum nasionalnya yang penting dan mendasar;
  2. Suatu pelanggaran benar-benar terjadi terang-terangan jika terbukti secara obyektif bagi setiap Negara yang melakukan sendiri tentang masalah tersebut sesuai dengan kebiasaan dan dengan itikad baik.

Pasal 47

Pembatasan-pembatasan secara khusus pada penguasa untuk menyatakan kesepakatan sesuatu Negara

Apabila wewenang dari seorang wakil Negara untuk menyatakan kesepakan negaranya guna mengikatkan diri pada suatu perjanjian telah dilakukan dengan syarat adanya pembatasan-pembatasan secara khusus, maka kelalaiannya untuk mematuhi pembatasan-pembatasan tersebut tidak boleh diberikan untuk membatalkan kesepakatan yang telah diberitahukan kepada Negara-negara perunding lainnya selum ia menyatakan kesepakatannya tersebut

Pasal 48

Kekeliruan (error)

  1. Suatu negara bisa mengajukan permohonan bahwa adanya kekeliruan pada sesuat perjanjian itu bisa membatalkan kesepakatannya untuk mengikatkan diri pada perjanjian tersebut apabila kekeliruan itu berkaitan dengan suatru kenyataan atau situasi yang dianggap oleh Negara itu merupakan dasar yang penting bagi kesepakatan Negara itu dalam mengikatkan diri pada perjanjian tersebut.
  2. Ayat 1 pasal ini tidak akan berlaku jika Negara termaksud didorong oleh tindakannya sendiri melakukan kekeliruan itu atau jika dalam suasana dimana Negara itu memberitahukan mengenai kemungkinan adanya kekeliruan itu.
  3. Suatu kekeliruan yang terjadi hanya karena susunan kalimat dalam naskah perjanjian, hal itu tidak mempengaruhi keabsahannya untuk itu pasal 79 bisa diterapkan

Pasal 49

Kecurangan (fraud)

Jika sesuatu Negara dibujuk oleh Negara perunding lainnya untuk membuat suatu perjanian dengan cara curang, maka Negara tersebut dengan menggunakan kecurangan itu dapat meminta untuk membatalkan kesepakatannya yang telah dinyatakan untuk mengikatkan diri pada perjanjian tersebut.

Pasal 50

Kelicikan yang dilakukan oleh wakil dari sesuatu Negara (corruption)

Bila pernyataan sesuatu Negara untuk mensepakati keterikatannya pada suatu perjanjian telah diperoleh dengan cara yang licik melalui wakilnya baik secara langsung maupun tidak langsung dari Negara perunding lainnya, maka Negara itu dengan menggunakan kelicikan dapat meminta membatalkan kesepakatannya untuk mengikatkan diri dari perjanjian tersebut

Pasal 51

Paksaan yang dilakukan oleh wakil Negara (coercion)

Pernyataan kesepakatan sesuatu Negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian yang diperoleh dengan cara paksaan terhadap wakil Negara tersebut melalui ancaman tidak akan mempunyai kekuatan hukum sama sekali.

Pasal 52

Paksaan yang dilakukan oleh sesuatu Negara dengan ancaman atau penggunaan kekerasan

Suatu perjanjian menjadi tidak sah jika pembuata nya dilakukan dengan ancaman atau pengguaan kekerasan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang termuat di dalam piagam PBB

Pasal 53

Perjanjian-perjanjian yang bertentengan dengan norma hukum internasional umum yang sudah baku (jus cogens)


Hukum perjanjian Internasional : istilah

August 3, 2010

Perjanjian internasional
• Perjanjian internasional dalam Konvensi Wina tahun 1969 Pasal 2 (1) (a) : semua perjanjian
yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum
internasional dan berisi ikatan-ikatan yang mempunyai akibat-akibat hukum.)
• Perjanjian Internasional (UU No. 24/2000) : Perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam
bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis
serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum public
unsur-unsur perjanjian internasional :

λ Suatu persetujuan internasional

Dibuat oleh negara negara

λ Dalam bentuk tertulis

Didasarkan pada hukum internasional

λ Dibuat dalam instrumen tunggal. Dua atau lebih

Memiliki nama apapun

Bentuk Perjanjian Internasional
• Traktat (Treaty)
Treaty mencakup segala macam bentuk persetujuan internasional, dan merupakan perjanjian
yang paling penting dan sangat formal dalam urusan perjanjian.
Sebagai contoh perjanjian internasional jenis ini ialah perjanjian persahabatan dan kerja sama di
Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) tertanggal 24 Februari
1976.
• Konvensi (Convention)
Istilah convention mencakup juga pengertian perjanjian internasional secara umum. Dengan
demikian, menurut pengertian umum, istilah convention dapat disamakan dengan pengertian
umum treaty. Istilah konvensi digunakan untuk perjanjian-perjanjian multilateral yang
berangotakan banyak pihak.
Sebagai contoh perjanjian internasional jenis ini ialah Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang
Perlindungan Korban Perang.
• Persetujuan (Agreement)
Menurut pengertian umum, agreement mencakup seluruh jenis perangkat internasional dan
biasanya mempunyai kedudukan yang lebih rendah daripada traktat dan konvensi. Contohnya
Treaty of Rome, 1957.
• Memorandum of Understanding
sebuah perjanjian yang berisi pernyataan persetujuan tidak langsung atas perjanjian lainnya; atau
pengikatan kontrak yang sah atas suatu materi yang bersifat informal atau persyaratan yang
longgar, kecuali pernyataan tersebut disertai atau merupakan hasil persetujuan atau kesepakatan
pemikiran dari para pihak yang dikehendaki oleh keduanya untuk mengikat
• Protokol (Protocol)
Terminologi protocol digunakan untuk perjanjian internasional yang materinya lebih sempit

 

 

dibanding treaty atau convention.pengunaan protokol tersebut memiliki berbagai macam

keragaman yaitu :

a. Protocol of signature

b. Optional protocol

c. Protocol based on a framework treaty

Protokol ini merupakan sebagai tambahan dari perjanjian utamanya. An example is the 1987

Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer adopted on the basis of Arts.2

and 8 of the 1985 Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer.

• Piagam (Charter)

Pada umumnya, istilah charter digunakan sebgai perangkat internasional dalam pembentukan

(pendirian) suatu organisasi internasional. The examples are the Charter of the United Nations of

1945 and the Charter of the Organization of American States of 1952.

• Deklarasi (Deklaration)

Deklarasi merupakan perjanjian yang berisi ketentuan-ketentuan umum dimana para pihak

berjanji untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu di masa yang akan datang.

Contohnya ialah Deklarasi ASEAN (ASEAN Declaration) tahun 1967 dan Deklarasi Universal

tentang Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration on Human Rights) tahun 1948.

• Final Act

Final Act adalah suatu dokumen yang berisikan ringkasan laporan sidang dari suatu konfensi dan

yang juga menyebutkan perjanjian-perjanjian atau konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh

konfrensi tersebut dengan kadang-kadang disertai anjuran atau harapan yang sekiranya dianggap

perlu. Contohnya ialah Final Act General Agreement on Tariff and Trade (GATT) tahun 1994.

• Exchange of Notes

Pertukaran nota merupakan perjanjian internasional bersifat umum yang memiliki banyak

persamaan dengan perjanjian hukum perdata. Perjanjian ini dilakukan dengan mempertukarkan

dua dokumen, each of the parties being in the possession of the one signed by the representative

of the other.

• Arrangement

Adalah suatu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik oprasional suatu perjanjian induk.

• Agreed Minutes & Summary Records

Adalah merupakan catatan mengenai hasil perundingan yang telah disepakati oleh pihak-pihak

dalam perjanjian. Catatan ii akan digunakan dalam perundingan selanjutnya.

• Process Verbal

Istilah ini dipakai untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan piagam pengesahan atau untuk

mencatat kesepakatan hal-hal yang bersifat tekhik administratif atau perubahan-perubahan kecil

dalam suatu persetujuan.

• Modus Vivendi merupakan suatu perjanjian yang bersifat sementara dengan maksud akan

diganti dengan pengaturan yang tetap dan terperinci.

• Letter of Intent

document outlining an agreement between two or more parties before the agreement is finalized.

The concept is similar to the co-called heads of agreement. Such agreements may be Asset

Purchase Agreements, Share Purchase Agreements, Joint-Venture Agreements and overall all

 

 

Agreements which aim at closing a finacially rather large deal.

“Treaty Making Powers” berdasarkan Konvensi Wina 1969 berada ditangan “the big three”,

yaitu :

λ Kepala Negara (Head of State);

 Kepala Pemerintahan (Head of Government);

λ Menteri Luar Negeri (Ministry for Foreign Affairs).

 

Sehingga tanpa menggunakan Surat Kuasa “Full Powers” mereka dapat menandatangani suatu

perjanjian internasional.

Dsr Hk Pembuatan PI

Ps. 11 UUD 1945 : UU No.37 tahun 1999 tentang hubungan Luar Negeri dan UU No. 24 tahun

2000 tentang Perjanjian Internasional, dalam pelaksanaannya kedua Undang-undang ini terkait

erat dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

One Door Policy

Departemen Luar Negeri sebagai koordinator dalam penyelenggaraan dan kerjasama luar negeri.

Melalui mekanisme konsultasi dan koordinasi ini, perjanjian internasional yang diadakan oleh

pemerintah dapat dilakukan secara aman baik dari segi politis, security, yuridis dan teknis

UU 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan UU 24/2000 tentang Perjanjian Internasional

menetapkan bahwa :

Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, di tingkat

pusat dan daerah yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih

dahulu harus melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri

Luar Negeri

Pengesahan PI dilakukan melalui UU bila mencakup :

1. Masalah pol, perdamaian, keamanan, hankam

2. Perubahan wil/penetapan batas wil neg

3. Kedaulatan/hak berdaulat neg

4. Ham n ling hidup

5. Pembentukan kaidah hokum baru

6. Pinjaman/hibah luar negri

Pedoman dan Prinsip Pembuatan Perjanjian

Pedoman: Kepentingan Nasional.

Prinsip :

o Kesepakatan para pihak,

o Saling menguntungkan / manfaat,

o Kesetaraan/persamaan kedudukan; dan

o Itikad baik.

Kerangka Perjanjian Judul

o Pembukaan /Mukaddimah

o Batang tubuh

o Ketentuan akhir

o Lampiran (jika perlu)

Bentuk-bentuk Perjanjian


Hukum Perjanjian Internasional : Berakhirnya dan PEnangguhan Bekerjanya suatu Perjanjian

August 3, 2010

Pasal 54

Berakhirnya atau penarikan diri dari suatu perjanjian menurut ketentuan-ketentuan yang ada atau dengan kesepakatan para pihak

Berakhirnya atau penarikan diri sesuatu bisa terjadi :

  1. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian, atau
  2. Setiap waktu dengan kesepakatan dari semua pihak setelah mengadakan konsultasi dengan Negara-negara perunding lainnya

Pasal 56

Pengurangan pihak-pihak dari perjanjian multilateral di bawah jumlah yang diperlukan untuk keberlakuannya

Kecuali jika perjanjian itu sendiri menyatakan suatu perjanjian multilateral tidak berakhir dengan alas an hanya dari kenyataan bahwa jumlah pihak berada di bawah jumlah yang diperlukan untuk memberlakukan perjanjian itu.

Pasal 56

Pemutusan atau penarikan diri suatu perjanjian yang tidak memuat ketentuan tentang pengakhiran, pemutusan atau penarikan

  1. Suatu perjanjian yang tidak memuat ketentuan mengenai pengakhiran dan yang tidak mengatur tentang pemutusan atau penarikan diri tidak terpengaruh terhadap pemutusan atau penarikan diri, kecuali jika:
    1. Hal itu ditetapkan bahwa para pihak bermaksud untuk mengakui adanya kemungkinan untuk memutuskan atau menarik diri;
    2. Hak untuk memutuskan atau menarik diri bisa secara implicit terjadi karena sifat perjanjian tersebut.
  2. Sesuatu pihak akan memberitahukan sekurang-kurangnya dua belas bulan mengenai maksud untuk memutuskan atau menarik diri dari suatu perjanjian sebagaimana tersebut di dalam ayat 1 diatas.

Pasal 57

Penangguhan bekerjanya suatu perjanjian menurut ketentuan-ketentuannya atau dengan kesepakatan para pihak.

Bekerjanya suatu perjanjian bagi semua pihak atau bagi pihak tertentu bisa ditangguhkan:

  1. Sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian itu sendiri; atau
  2. Setiap waktu dengan kesepakatan dari semua pihak setelah berkonsultasi dengan Negara perunding lainnya.

Pasal 58

Penangguhan mengenai bekerjanya suatu perjanjian multilateral dengan persetujuan hanya di antara para pihak-pihak tertentu.

  1. Dua pihak atau lebih dari perjanjian multilateral bisa membuat suatu untuk menangguhkan bekerjanya ketentuan-ketentuan persetujuan untuk sementara waktu dan diantara mereka sendiri, jika:
    1. Kemungkinan penangguhan semacam itu dinyatakan sendiri oleh perjanjian tersebut; atau
    2. Penangguhan yang dimaksud adalah tidak dilarang oleh perjanjian dan;
      1. Tidak berpengaruh terhadap hak dari pihak-pihak lainnya menurut perjanjian itu atau dalam melaksanakan kewajiban mereka;
      2. Hal itu tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian itu.
  2. Kecuali jika perjanjian itu menyatakan bahwa hal itu termasuk dalam ayat 1 (a) diatas, maka para pihak yang dimaksud akan memberitahukan kepada pihak-pihak lainnya mengenai maksud mereka untuk membuat persetujuan dan semua ketentuan dari perjanjian yang akan mereka tangguhkan bekerjanya.

Pasal 59

Pengakhiran atau penangguhan bekerjanya suatu perjanjian yang secara implicit dengan pembuatan perjanjian berikutnya

  1. Suatu perjanjian dianggap berakhir jika semua pihak perjanjian tersebut membuat perjanjian berikutnya mengenai inti persoalan yang sama; dan
    1. Perjanjian itu muncul dari perjanjian berikutnya atau jika tidak ditetapkan bahwa para pihak menghendaki bahwa persoalan itu harus diatur oleh perjanjian tersebut; atau
    2. Ketentuanketentuan dalam perjanjian yang berikutnya sejauh itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam perjanjian sebelumnya maka dua perjanjian tidak mampu untuk diterapkan dalam waktu yang sama.
  2. Perjanjian sebelumnya harus dianggap hanya sebagai yang ditangguhkan jika hal itu muncul dari perjanjian sebelumnya atau jika tidak ditetapkan bahwa hal itu merupakan kehendak dari para pihak

Pasal 60

Pengakhiran atau penangguhan bekerjanya suatu perjanjian sebagai konsekuensi dari pelanggarannya

  1. Pelanggaran utama terhadap perjanjian bilateral oleh salah satu pihak memberikan hak pada pihak lainnya untuk memajukan pelanggaran itu sebagai dasar untuk mengakhiri perjanjian atau menangguhkan bekerjanya perjanjian tersebut seluruhnya atau sebagian.
  2. Pelanggaran utama terhadap perjanjian multilateral oleh salah satu pihak memberikan hak;

     

    1. Pihak lainnya dengan persetujuan bulat menagguhkan bekerjanya perjanjian seluruhnya atau sebagian atau mengakhiri perjanjian itu baik;
      1. Dalam hubungan antara mereka sendiri dan Negara yang lalai, maupun
      2. Diantara semua pihak
    2. Suatu pihak yang terpengaruh khususnya oleh pelanggaran untuk memajukan suatu dasar untuk menangguhkan bekerjanya perjanjian seluruhnya atau sebagian dalam hubungan antara perjanjian itu sendiri dengan Negara yang lalai;
    3. Sesuatu pihak selain Negara yang melakukan kelalaian meminta pelanggaran itu sebagai dasar untuk menunda bekerjanya suatu perjanjian baik keseluruhannya maupun sebagian dalam hubungannya Negara itu sendiri dengan Negara yang melakukan kelalaian tersebut;
  3. Pelanggaran utama terhadap perjanjian, untuk keperluan pasal ini, terdiri dari:
    1. Penolakan perjanjian yang tidak diberikan sanksi oleh konvensi ini atau
    2. Pelanggaran terhadap suatu ketentuan yang penting untuk memenuhi maksud atau tujuan perjanjian tersebut.
  4. Ayat-ayat sebelumnya tersebut tanpa mengurangi arti dari setiap ketentuan dari perjanjian dapat diterapkan dalam hal terjadinya suatu pelanggaran
  5. Ayat 1 sampai dengan 3 diatas tidak dapat diterapkan pada ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap orang perorangan yang termuat di dalam perjanjian yang mempunyai bersifat perikemanusiaan, khusunya terhadap ketentuan-ketentuan yang melarang setiap bentuk pembalasan terhadap orang-orang yang dilindungi oleh perjanjian tersebut

Pasal 61

Tidak memungkinkannya untuk melaksanakan suatu perjanjian

  1. Suatu pihak dapat meminta bahwa ketidakmungkinanya untuk melaksanakan suatu perjanjian merupakan dasar (alasan) untuk mengakhiri atau menarik diri dari perjanjian tersebut jika ketidak-mungkinannya itu diakibatkan oleh hilangnya atau lenyapnya obyek yang sangat diperlukan untuk melaksanakan perjanjian tersebut; tetapi jika ketidak-mungkinannya itu sifatnya smentara, maka hal itu bisa dimintakan hanya sebagai dasar untuk menunda bekerjanya perjanjian saja.
  2. Ketidak mungkinanya untuk melaksanakan perjanjian tersbeut tidak bisa dimintakan oleh sesuatu pihak sebagai dasar untuk mengakhiri, menunda bekerjanya perjanjian tersbeut jika ketidakmungkinannya itu merupakan akibat dari pelanggaran yang dilakukan oleh pihak tersebut baik mengenai kewajiban menurut perjanjian maupun sesuatu kewajiban internasional yang dimiliki oleh pihak lainnya.

Pasal 62

Perubahan keadaan yang mendasar

  1. Suatu perubahan keadaan yang mendasar yang telah terjadi pada waktu perjanjian itu dibuat dan yang tidak diduga oleh para pihak, tidak bisa dimintakan sebagai dasar untuk mengakhiri atau menarik diri dari perjanjian, kecuali jika
    1. Keadaan-keadaan tersebut merupakan dasar pokok bagi kesepakan para pihak untuk mengikatkan diri pada perjanjian; dan
    2. Pengaruh dari perubahan tersbeut sama sekali untuk merubah kewajiban-kewajiban yang masih belum dilaksanakan sesuai dengan perjanjian tersebut;
  2. Suatu perubahan keadaan yang mendasar tidak boleh dimintakan sebagai dasar untuk mengakhiri atau menarik diri dari perjanjian;
    1. Jika perjanjian tersebut untuk menentukan perbatasan; atau
    2. Jika perubahan yang mendasar itu merupakan hasil dari pelanggaran oleh pihak yang memintanya baik dari kewajibannya menurut perjanjian itu maupun sesuatu kewajiban internasional lainhya yang dimiliki oleh pihak perjanjian lainnya

       

  3. Jika menurut paragraph-paragraf sebelumnya, sesuatu pihak bisa meminta perubahan keadaan yang mendasar sebagai dasar untuk mengakhiri atau menarik diri dari perjanjian, pihak tersbut bisa juga meminta perubahan itu sebagai dasar untuk menunda bekerjanya perjanjian tersebut.

Pasal 63

Putusnya hubungan diplomatic atau konsuler

Putusnya hubungan diplomatic atau konsuler di antara para pihak perjanjian tidak berpengaruh pada hubungan hukum yang dibuat dengan perjanjian di antara mereka, kecuali jika adanya hubungan diplomatic atau konsuler tersebut sangat diperlukan untuk penerapan perjanjian itu.

Pasal 64

Timbulnya norma baru yang sudah baku dalam hukum internasional umum (jus cogens)

Jika normanya baru yang sudah baku dalam hukum internasional timbul, maka setiap perjanjian yang ada bertentangan dengan norma tersebut menjadi tidak berlaku lagi dan berakhir

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Hukum Perjanjian Internasional : Tidak sahnya perjanjian, berakhirnya dan penangguhan suatu perjanjian

June 24, 2010

Dasar tidak sahnya perjanjian yang tersebut di dalam Konvensi Wina 1969 adalah

  1. Pengaruh dari pembatasan hukum nasional terhadap wewenang suatu Negara untuk membuat perjanjian
  2. Larangan hak wakil sesuatu Negara untuk bertindak dalam menyatakan kesepakatannya untuk mengikatkan diri pada perjanjian
  3. Kekeliruan dalam suatu perjanjian
  4. Bujukan sesuatu Negara untuk membuat perjanjian dengan tindakan kecurangan dari Negara lain
  5. Kelicikan wakil sesuatu Negara yang meyatakan kesepakatan Negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian
  6. Paksaan dari wakil sesuatu Negara untuk menyatakan kesepakatan Negara untuk mengikat diri pada perjanjian
  7. Paksaan sesuatu Negara untuk membuat perjanjian dengan ancaman atau penggunaan kekerasan
  8. Perjanjian yang bertentangan dengan norma yang sudah baku dalam hukum internasional (jus cogens)

Pasal 16-53 tentang tidak sah nya suatu perjanjian terbagi 3 golonga

  1. Ketentuan-ketentuan mengenai wewenang untuk membuat perjanjian internasional menurut hukum internasional
  2. Ketentuan-ketentuan mengenai syarat-syarat untuk membuat perjanjian
  3. Ketentuan-ketentuan mengenai kaidah-kaidah yang menentukan dalam hukum internasional secara umum (jus cogens)

Pasal 46 tiga factor yang bisa menjadi dasar bagi sesuatu Negara untuk membatalkan kesepakatannya untuk mengikatkan diri pada perjanjian.

  1. Ketentuan hukum nasional yang dilanggar itu ialah ketentuan tentang wewenang untuk membuat perjanjian
  2. Ketentuan yang dilanggar mempunyai arti yang mendasar
  3. Pelanggaran itu harus benar-benar bukan saja untuk Negara yang bersangkutan tetapi juga untuk pihak-pihak lainnya.

     

  • Pasal 48 menyatakan bahwa sesuatu Negara hanya boleh meminta bahwa sesuatu kekeliruan dalam suatu perjanjian itu dapat membatalkan kesepakatnnya untuk mengikatkan diri pada perjanjian tersebut, jika kekeliruan itu terkait dengan suatu kenyataan atau situasi yang ditanggung oleh negaranya tersebut pada waktu perjanjian ditandatangani dan membentuk dasar pokok dari kesepakatannya untuk mengikatkan diri pada perjanjian itu

Berakhirnya dan Penangguhan Bekerjanya suatu perjanjian.

Berakhirnya atau penarikan diri sesuatu pihak bisa terjadi

  1. Sesuai dangan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian atau,
  2. Setiap waktu dengan kesepakatan dari semua pihak setelah mengadakan konsultasi dengan Negara-negara perunding lainnya

Tidak memungkinkannya untuk melaksanakan suatu perjanjian.

  • Tidak memungkinkannya untuk melaksanakan suatu perjanjian, menyangkut penangguhan suatu perjanjian atau berakhirnya suatu perjanjian tersebut sebagai akibat dari hilangnya atau lenyapnya obyek yang sangat diperlukan untuk melaksanakanperjanjian, baik bersifat sementara maupun untuk selamanya

Terjadi perubahan keadaan yang mendasar

  • Suatu Negara boleh menggunakan adanya perubahan keadaan sebagai alas an untuk mengakhiri atau menarik diri dari perjanjian bila dapat dibuktikan bahw keadaan itu benar-benar sudah berubah dan para pihak sama-sama setuju dan perubahan itu benar-benar akan dapat merubah secara radikal kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai dengan perjanjian itu (rebus sic stantibus )

Putusnya hubungan diplomatic atau konsuler tidak memutuskan perjanjian kecuali jika adanya hubungan diplomatic atau konsuler tersebut sangat diperlukan untuk penerapan perjanjian itu

Timbulnya jus cogen baru, dan setiap perjanjian yang bertentangan dengan itu menjadi tidak berlaku lagi dan berakhir

 

 

 


Hukum Perjanjian Internasional : Amandemen dan Modifikasi Terhadap Perjanjian

June 24, 2010
  • Perubahan atau pembuatan amandemen terhadap perjanjian itu tergantung dari kesepakatan para pihak.
  • Mengenai perubahan atau amandemen terhadap perjanjian multilateral ini tidak mengharuskan adanya prakarsa dari semua Negara pihak dari perjanjian tersebut. Namun setiap usul perubahan baik di dalam bentuk amandemen atau revisi haruslah diberitahukan kepada semua Negara pihakl dan semuanya berhak untuk ikut serta dalam mengambil keputusan tentang kelanjutan usul perubahan tersebut.

Setiap Negara akan mempunyai hak untuk ikut serta dalam

  1. Keputusan tentang tindakan yang yang akan diambil mengenai usul tersebut
  2. Perundingan dan persetujuan mengenai perubahan perjanjian tersebut.

Hukum Perjanjian Internasional : Kewajiban untuk Melaksanakan Perjanjian, penerapan dan Penafsiran Perjanjian

June 24, 2010

Kewajiban untuk melaksanakan perjanjian

  • Pacta Sunt Servanda, Negara terikat untuk melaksanakan dengan itikad baiknya kewajiban-kewajiban yang dipikul mereka sesuai dengan perjanjian tersebut
  • Itikad baik, antara lain meminta agar sesuatu pihak dari perjanjian itu tidak akan mengambil tindakan-tindakan apapun yang diperkirakan dapat mencegah pelaksanaan atau menghalangi maksud perjanjian tersebut.
  • Suatu Negara pihak tidak dapat memberikan alas an untuk tidak mematuhi suatu perjanjian karena ada kesulitan dari hukum nasionalnya kecuali pembatalan terhadap pengikatan diri tersebut menyangkut merupakan kepentingan mendsar (fundamental importance)
  • Perjanjian tidak berlaku surut (non retroactivity) kecualai dicantumkan di dalam perjanjian tersebut

Penafsiran perjanjian

  • Penafsiran pada hakekatnya merupakan suatu proses kedua yang hanya dapat dilakukan jika perjanjian itu tidak mungkin dirasakan masuk akal, khusunya terhadap istilah-istilah biasa dalam suatu perjanjian.

5 Azaz penafsiran menurut Fitzmaurice

  1. Azas aktualitas dimana penafsiran itu dilakukan secara tekstual (textual interpretation)
  2. Azas yang melihat pada arti biasa atau menurut aslinya (natural or ordinary meaning)
  3. Azas integrasi dimana penafsiran terhadap suatu perjanjian itu dilakukan secara keselurhan (integration)
  4. Azas efekti9f (ut res magis veleat quam pereat)
  5. Azas kebiasaan yang semakin berguna sesudahnya (subsequent practice)

Tiga pendekatan dasar menurut Sinclair

  1. Pendekatan obyektif, merupakan suatu pendekatan yang memusatkan pada naskah persetujuan yang sebenarnya dengan menekankan analisanya terhadap kata-kata yang digunakan dalam persetujuan tersebut
  2. Pendekatan subyektif yang melihat pada maksud para pihak yang mengesahkan persetujuan itu sebagai cara penyelesaian bagi ketentuan yang masih membingungkan.
  3. Pendekatan teleologik, adalah pendekatan yang memberikan pandangan yang lebih luas dibandingkan dengan dua pendekatan lainnya yaitu dengan menekankan pada maksud dan tujuan dari perjanjian itu yang dianggap sebagai latar belakang yang paling penting dimana arti dari ketentuan perjanjian tertentu harus dikaji . pendekatan ini memepunyai pengaruh terhadap pernan para hakim atau arbiter , karena mereka akan diminta untuk mejelaskan maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut

Penafsiran suatu perjanjian yang layak memerlukan tiga factor yaitu:

  1. Arti biasa dari istilah-istilah yang digunakan

    Arti yang diberikan untuk istilah-istilah dalam penggunaan bahasa biasa kemungkinan besar merupakan arti dari sesuatu naskah tertulis baik berupa suatu perjanjian maupun bukan.

  2. Kehendak dari Negara-negara perunding

    Hal itu hanya merupakan kehendak dari para Negara perunding yang merumuskan perjanjian yang dimaksud

  3. Maksud dari tujuan dari perjanjian itu sendiri

    Masalah ini menyangkut maksud dari Negara-negara yang ikut merumuskan perjanjian dan bukan Negara-negara yang kemudian menjadi pihak dari perjanjian

     

  • Mahkamah Internasional mempunyai wewenang dalam sengketa-sengketa hukum untuk melakukan penafsiran dari suatu perjanjian
  • Dimana suatu konvensi atau perjanjian tidak member hak dan kewajiban pada pihak ketiga (Negara bukan pihak, yang tidak atau belum meratifikasi)

Hukum Perjanjian Internasional : Gambaran Umum

April 17, 2010

Hukum Perjanjian Internasional

Penggolongan perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal

  • Penggolongan yang pertama: perjanjian yang diadakan melalui tiga tahap pembentukan yakni perundingan, penandatangan dan ratifikasi; dan perjanjian yang diadakan melalui dua tahap pembentukan yaitu perundingan dan penandatangan.
  • Penggolongan yang kedua:perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral;
  • Penggolongan yang ketiga: treaty contract dan law making treaties

Bentuk-bentuk perjanjian internasional

  • Perjanjian antar- kepala negara;
  • Perjanjian antar-pemerintah;
  • Perjanjian antar- negara;
  • Perjanjian yang dirundingkan dan ditandatangani oleh menteri-menteri yang mewakili negaranya;
  • Perjanjian antar-departemen yaitu perjanjian yang diadakan antara pejabat-pejabat yang mewakili departemen-departemen pemerintah
  • Perjanjian yang dibuat antara ketua-ketua partai politik yang berkuasa di negaranya masing-masing

Peserta dalam perjanjian internasional

  • Ketentuan/aturan umum dalam perjanjian internasional:
  • Pasal 34 Konvensi Wina Tahun 1969 menyatakan bahwa A treaty does not create either obligations or rights for a third State without its consent;
  • Hukum kebiasaan internasional: “pacta tertiis nec nocent nec prosunt”
  • Pasal 34 Konvensi Wina Tahun 1986 menyatakan bahwa A treaty does not create either obligations or rights for a third State or a third organization without the consent of that State or that organization

Pengecualian-pengecualian terhadap Pasal 34 Konvensi Wina 1969

  1. Perjanjian yang memuat sejumlah ketentuan yang berlaku bagi negara-negara bukan perserta perjanjian;
  2. Perjanjian multilateral untuk meneguhkan berlakunya kaidah hukum kebiasaan internasional akan berlaku bagi negara-negara bukan peserta perjanjian tersebut;
  3. Perjanjian multilateral untuk membentuk kaidah hukum baru akan mengikat negara-negara bukan peserta perjanjian tersebut;
  4. Konvensi-konvensi multilateral tertentu yang diberlakukan secara universal dapat memuat syarat-syarat tentang pembelakuan konvensi-konvensi tersebut bagi negara-negara bukan perserta;
  5. Dispositive Treaties

Pembuatan dan Berlakunya Suatu Perjanjian Internasional

  • Kewenangan untuk membuat perjanjian internasional merupakan suatu atribut dari negara yang berdaulat.
  • Dalam pembuatan suatu perjanjian internasional dapat dilakukan dalam beberapa tahap:

    1. Menugaskan orang-orang yang melakukan perundingan atas nama negaranya;

    2. Perundingan dan penerimaan;

    3. Pengesahan, penandatangan dan pertukaran instrumen;

    4. Ratifikasi

    5. Aksesi;

    6. Masa berlakunya perjanjian

    7 Tahap pencatatan dan penerbitan setelah perjanjian dinyatakan berlaku; dan

    8. Penerapan dan penegakan hukum terhadap ketentuan dalam perjanjian

Reservation (Pensyaratan)

  • Suatu negara berdasarkan pertimbangan tertentu tidak dapat menyetujui sepenuhnya isi perjanjanjian yang bersangkutan;
  • Negara tersebut bisa saja memutuskan untuk sama sekali tidak turut serta dalam perjanjian itu;
  • Akan tetapi, turut sertanya negara dalam suatu perjanjian membawa banyak sekali keuntungan;
  • Untuk mengatasi kesukaran yang dihadapi oleh negara tersebut, negara bersangkutan dapat turut serta dalam perjanjian itu dengan mengajukan satu atau beberapa pensyaratan
  • Pasal 2 (1) Konvensi Wina Tahun 1969
  • “Reservation” means a unilateral, however, phrased or named, made by a State, when signing, ratifying, accepting, approving or acceding to a treaty, whereby it purports to exclude or to modify the legal effect of certain provisions of the treaty in their application to that State
  • Pasal 1 (e) Undang-undang Republik Indonesia No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
  • Pensyaratan (“Reservation”) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral;
  • Pasal 1 (f) Undang-undang Republik Indonesia No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
  • Pernyataan (“Declaration”) adalah pernyataan sepihak suatu negara tentang Pemahaman atau penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian internasional, yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan perjanjian internasional yang bersifat multilateral, guna memperjelas makna ketentuan tersebut dan tidak dimaksudkan untuk mem Pengaruhi hak dan kewajiban negara dalam perjanjian internasional;
  • Praktek negara mengenai pensyaratan:
  • Liga Bangsa-bangsa/Perserikatan Bangsa-bangsa (hingga permulaan tahun lima puluhan)- Asas kesepakatan yang bulat (unanimity principle)

     

 

 

 

 


Perjanjian Internasional : kesepakatan untuk mengikatkan diri pada perjanjian dan reservasi

April 16, 2010

Hukum Perjanjian Internasional : kesepakatan untuk mengikatkan diri pada perjanjian dan reservasi

 

 

Cara-Cara Umum Pengikatan Diri

  • Penandatanganan
  • Ratifikasi
  • Accession
  • Adhesion

Pasal 12 KOnvensi

  1. Kesepakatan Negara untuk mengikatkan diri pada perjanjian dinyatakan dengan penandatangan oleh wakilnya jika
    1. Perjanjian itu menyatakan bahwa penandatangan itu akan mempunyai pengaruh
    2. Jika tidak maka akan disebutkan bahwa Negara-negara perunding telah menyetujui sebelumnya bahwa penandatanganan itu harus mempunyai pengaruh , atau
    3. Adanya kehendak dari Negara untuk memberikan bahwa pengaruh terhadap penandatangan tersebut muncul dari surat kuasa penuh dari wakilnya atau dinyatakan selama perundingan

Perbedaan antara :

  • Ratifikasi

Negara ikut serta dalam proses pembentukan perjanjian

  • Accession& adhesion

1.Negara tidak ikut serta dalam pembentukan perjanjian

2. Hanya pada perjanjian multilateral

Perbedaan antara:

  • Accession

Pengikatan diri terhadap seluruh perjanjian

  • Adhesion

Pengikatan diri terhadap ketentuan tertentu saja dari perjanjian

 

Reservation (pensyaratan) dan akibat hukumnya

Ide dasar Reservasi

  • Untuk memungkinkan perjanjian multilateral memperoleh peserta yang luas
  • Adanya kedaulatan yang dimiliki negara

Perumusan Reservasi (pasal 19 Konvensi wina)

Suatu Negara pada waktu melakukan penandatangan, ratifikasi, menerima, mengesahkan atau aksesi terhadap suatu perjanjian boleh mengajukan reservasi kecuali jika:

  1. Reservasi itu dilarang oleh perjanjian
  2. Perjanjian itu sendiri menyatakan bahwa hanya reservasi-reservasi tertentu yang tidak termasuk reservasi yang dipersoalkan, boleh diajukan
  3. Dalam hal tidak termasuk di dalam sub paragraph (a) dan (b), maka reservasi itu bertentangan dengan tujuan dan maksud perjanjian

Pasal 20 Konvensi Wina 1969

  • 1. reservasi yg diizinkan oleh perjanjian tidak memerlukan penerimaan oleh negara peserta lainnya
  • Jika penerapan perjanjian secara keseluruhan sebagai syarat utama untuk terikat oleh perjanjian maka reservasi memerlukan penerimaan seluruh peserta perjanjian
  • Jika perjanjian merupakan instrumen konstitusi organisasi internasional maka reservasi memerlukan penerimaan dari organ kompeten organisasi tersebut

Reservasi dapat dilakukan dengan :

  • Tidak memerlukan persetujuan negara peserta lainnya
  • Perlu persetujuan dari :
  1. Semua negara peserta
  2. Organ yang kompeten dari organisasi internasional ybs

 

Akibat hukum Pensyaratan / reservasi:

  • Merubah ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian
  • Memodifikasi akibat hukum ketentuan tertentu dalam hal pelaksanaannya oleh negara ybs

Prosedur reservasi

  • Reservasi, pernyataan menerima reservasi, menolak reservasi harus diformulasikan dalam dalam bentuk tertulis dan disampaikan kepada negara peserta lain dan negara yang berhak menjadi peserta
  • Jika reservasi diformulasikan pada saat penandatangan maka harus diformalkan pd saat meratifikasi atau mengikutsertai perjanjian.

Pembatalan reservasi, dan penolakan reservasi

  • Pembatalan/penarikan diri dari reservasi dapat setiap saat dilakukan dan tidak memerlukan penerimaan dari negara anggota atau organisasi
  • Pembatalan penolakan reservasi dapat dilakukan setiap sehat
  • Pembatalan reservasi dapat efektif setelah pemberitahuan tertulis di terima oleh peserta perjanjian lainnya
  • Pembatalan penolakan reservasi dapat efektif setelah pemebritahuan tertulis diterima oleh negara pengaju reservasi

Hukum Perjanjian Internasional : Cara-cara mengikatkan diri pada Perjanjian Internasional

April 16, 2010

PASAL 11 KONVENSI WINA 1969

KESEPAKATAN UNTUK MENGIKATKAN DIRI PADA PERJANJIAN DAPAT DINYATAKAN DENGAN :

  1. PENANDATANGANAN;
  2. PERTUKARAN INSTRUMEN YANG MENCIPTAKAN SUATU PERJANJIAN;
  3. RATIFIKASI;
  4. PENERIMAAN;
  5. PENGESAHAN;
  6. AKSESI, ATAU
  7. CARA-CARA APAPUN LAINNYA YANG DISETUJUI

 

KESEPAKATAN DENGAN PENANDATANGANAN

SUATU NEGARA BISA MENGANGGAP DIRINYA TELAH MEMBERIKAN KESEPAKATANNYA PADA NASKAH PERJANJIAN DENGAN PENANDATANGANAN. PENANDATANGANAN SEMACAM INI BISA MENGIKAT SECARA EFEKTIF DALAM HAL :

  1. ADANYA KETENTUAN TERSENDIRI YANG MENYATAKAN BAHWA PENANDATANGANAN ITU BISA MENGIKAT SUATU PERJANJIAN.
  2. ADANYA PERSETUJUAN SEBELUMNYA DARI NEGARA-NEGARA PERUNDING PERJANJIAN ITU BAHWA PENANDATANGANAN ITU AKAN MENGIKAT.
  3. DALAM KUASA PENUH YANG DIBERIKAN KEPADA SESEORANG WAKIL NEGARA TERTULIS DI DALAMNYA MAKSUD DARI NEGARANYA BAHWA PENANDATANGANAN YANG DILAKUKAN OLEH WAKIL TERSEBUT MENGIKAT PERJANJIAN SECARA EFEKTIF.
  4. WAKIL NEGARA DALAM PERUNDINGAN MENGENAI PERJANJIAN TERSEBUT DAPAT MENYATAKAN BAHWA PENANDATANGANAN YANG AKAN DILAKUKAN ITU AKAN MENGIKAT PERJANJIAN SECARA EFEKTIF.

 

KESEPAKATAN YANG DILAKUKAN MELALUI PENANDATANGANAN DINYATAKAN DALAM PASAL 12 KONVENSI

PASAL 12 :

KESEPAKATAN UNTUK MENGIKATKAN DIRI PADA PERJANJIAN YANG DINYATAKAN DENGAN PENANDATANGANAN

  1. KESEPAKATAN NEGARA UNTUK MENGIKATKAN DIRI PADA PERJANJIAN DINYATAKAN DENGAN PENANDATANGANAN OLEH WAKILNYA JIKA :
  2. PERJANJIAN ITU MENYATAKAN BAHWA PENANDATANGAN ITU MEMPUNYAI PENGHARUH;
  3. JIKA TIDAK MAKA AKAN DISEBUTKAN BAHWA NEGARA-NEGARA PERUNDING TELAH MENYETUJUI SEBELUMNYA BAHWA PENANDATANGANAN ITU HARUS MEMPUNYAI PENGARUH; ATAU
  4. ADANYA KEHENDAK DARI NEGARA UNTUK MEMBERIKAN BAHWA PENGARUH TERHADAP PENANDATANGAN TERSEBUT MUNCUL DARI SURAT KUASA PENUH DARI WAKILNYA ATAU DINYATAKAN SELAMA PERUNDINGAN.
  5. UNTUK TUJUAN TERSEBUT :
  6. PEMARAFAN DARI SEBUAH NASKAH MERUPAKAN SEBUAH TANDATANGAN DARI PERJANJIAN APABILA DISEBUTKAN BAHWA NEGARA-NEGARA PERUNDING MENYETUJUINYA;
  7. PENANDATANGANAN SUATU PERJANJIAN OLEH SEORANG WAKIL (DENGAN CATATAN MENUNGGU KONFIRMASI ATAU PERTIMBANGAN LEBIH LANJUT) AD REFERENDUM, DAN JIKA NANTINYA DIBERIKAN KONFIRMASI OLEH NEGARANYA MERUPAKAN SUATU PENANDATANGANAN YANG PENUH DARI PERJANJIAN.

KESEPAKATAN MELALUI PERTUKARAN INSTRUMEN

PASAL 13 :

KESEPAKATAN DARI NEGARA-NEGARA UNTUK MENGIKATKAN DIRI PADA SUATU PERJANJIAN YANG DILAKUKAN DENGAN MEMPERTUKARKAN INSTRUMEN DI ANTARA MEREKA DAPAT DINYATAKAN DENGAN ADANYA PERTUKARAN TERSEBUT JIKA :

  1. INSTRUMEN ITU MENYEBUT BAHWA PERTUKARAN MEREKA ITU AKAN MENGIKAT SECARA EFEKTIF;
  2. JIKA TIDAK MAKA HARUS DITETAPKAN BAHWA NEGARA-NEGARA TERSEBUT MENYETUJUI BAHWA PERTUKARAN INSTRUMEN ITU AKAN MENGIKAT.

KESEPAKATAN DENGAN RATIFIKASI, PENERIMAAN ATAU PENGESAHAN

PENGERTIAN : PASAL 2 AYAT (1) HURUF b

RATIFIKASI, PENERIMAAN, PENGESAHAN DAN AKSESI, DALAM SETIAP KASUS DIARTIKAN SEBAGAI TINDAKAN INTERNASIONAL APAPUN NAMANYA DIMANA SUATU NEGARA DALAM TARAF INTERNASIONAL MEMBUAT KESEPAKATANNYA UNTUK MENGIKATKAN DIRI PADA SUATU PERJANJIAN.

 

PASAL 14 KONVENSI WINA 1969

  1. KESEPAKATAN SESUATU NEGARA UNTUK MENGIKATKAN DIRI TERHADAP PERJANJIAN DINYATAKAN MELALUI RATIFIKASI JIKALAU :
  2. PERJANJIAN ITU SENDIRI MEMUAT KESEPAKATAN SEMACAM ITU YANG DINYATAKAN MELALUI CARA-CARA RATIFIKASI;
  3. JIKA TIDAK AKAN DITETAPKAN BAHWA NEGARA-NEGARA PERUNDING TELAH MENYETUJUI BAHWA RATIFIKASI MEMANG DIPERLUKAN;
  4. WAKIL DARI NEGARA TELAH MENANDATANGANI PERJANJIAN TETAPI KEMUDIAN PERJANJIAN ITU HARUS DIRATIFIKASI; ATAU
  5. ADA KEHENDAK DARI NEGARA UNTUK MENANDATANGANI PERJANJIAN DAN AKAN MERATIFIKASI KEMUDIAN SEPERTI YANG TERTULIS DI DALAM SURAT KUASA PENUH DARI WAKIL-WAKIL NEGARA TERSEBUT ATAU DINYATAKANNYA SELAMA PERUNDINGAN BERLANGSUNG
  6. KESEPAKATAN DARI SUATU NEGARA UNTUK MENGIKATKAN DIRI PADA PERJANJIAN DINYATAKAN DENGAN CARA-CARA PENERIMAAN ATAU PENGESAHAN SESUAI DENGAN SYARAT-SYARAT YANG SAMA DENGAN SEMUA YANG DITERAPKAN DALAM RATIFIKASI

KESEPAKATAN DENGAN CARA AKSESI

PASAL 15

KESEPAKATAN SESUATU NEGARA UNTUK MENGIKATKAN DIRI TERHADAP PERJANJIAN DINYATAKAN DENGAN AKSSESI JIKA :

  1. PERJANJIAN ITU MENYEBUTKAN BAHWA KESEPAKATAN SEMACAM ITU DAPAT DINYATAKAN DENGAN CARA AKSESI;
  2. JIKA TIDAK DINYATAKAN DAPAT DITETAPKAN BAHWA NEGARA PERUNDING TELAH MENYETUJUI BAHWA KESEPAKATAN SEMACAM ITU BISA DINYATAKAN OLEH NEGARA DENGAN CARA AKSESI; ATAU
  3. SEMUA PIHAK SESUDAHNYA TELAH MENYETUJUI BAHWA KESEPAKATAN SEMACAM ITU DAPAT DINYATAKAN OLEH NEGARA TERSEBUT DENGAN CARA AKSESI.

PERTUKARAN ATAU PENYERAHAN INSTRUMEN UNTUK MENYEPAKATI PERJANJIAN

PASAL 16

KECUALI DINYATAKAN LAIN OLEH PERJANJIAN INI, MAKA INSTRUMEN-INSTRUMEN UNTUK RATIFIKASI, PENERIMAAN, PENGESAHAN ATAU AKSESI, KESEPAKATAN SUATU NEGARA UNTUK MENGIKATKAN DIRI PADA PERJANJIAN DITETAPKAN SEBAGAI BERIKUT :

  1. MEMPERTUKARKAN INSTRUMEN TERSEBUT DI ANTARA NEGARA-NEGARA PESERTA (CONTRACTING STATES);
  2. MENYERAHKAN INSTRUMEN TERSEBUT KEPADA PENYIMPAN (DEPOSITARY); ATAU
  3. INSTRUMEN TERSEBUT DIBERITAHUKAN KEPADA NEGARA PESERTA ATAU KEPADA DEPOSITORY, JIKA DISETUJUI

 

KESEPAKATAN UNTUK MENGIKATKAN DIRI PADA SEBAGIAN PERJANJIAN (ADHESION)

PASAL 17

  1. TANPA MENGURANGI ARTI DALAM PASAL-PASAL 19 SAMPAI DENGAN 23, KESEPAKATAN SESUATU NEGARA UNTUK MENGIKATKAN DIRI PADA SEBAGIAN DARI PERJANJIAN HANYA DAPAT MENGIKAT SECARA EFEKTIF JIKA PERJANJIAN ITU MEMPERBOLEHKAN ATAU NEGARA-NEGARA PESERTA MENYETUJUINYA;
  2. KESEPAKATAN SESUATU NEGARA UNTUK MENGIKATKAN DIRI PADA SUATU PERJANJIAN YANG MEMPERBOLEHKAN SUATU PILIHAN DI ANTARA KETENTUAN-KETENTUAN YANG BERBEDA HANYA DAPAT MENGIKAT SECARA EFEKTIF JIKA KESEPAKATAN ITU DINYATAKAN SECARA JELAS TERHADAP KETENTUAN-KETENTUAN YANG TERKAIT